14 Agustus 2009
27 Juli 2009
dewisri
Dewi Sri Setiap kali masuk musim panen, para wong ndeso yang bermatapencaharian sebagai petani, membelanjakan sebagian rizki mereka ke jalan Dewi Sri. Keuntungan yang hanya suedikiiiit dari panenan musim yang lalu mereka sisihkan sebagian untuk membeli tetek bengek untuk sesaji Sang Dewi Padi. Mungkin sebagai wujud rasa syukur, mungkin juga sebagai wujud “rayuan” agar Dewi Sri bermurah hati dan memberikan panen yang lebih baik di musim yang akan datang. Bila panenan padi mengecewakan maka mereka melakukan “penelitian” sebab musababnya. Jika secara kebetulan si petani tidak memberi sesaji, maka “temuan” telah ditemukan. Mereka akan membuat kesimpulan jika petani tidak memberi sesaji maka panenan padi mengecewakan. Jika sudah diberi sesaji namun panenan belum juga memuaskan maka mereka akan membuat “temuan baru”: sesajinya kurang banyak atau meletakkannya yang salah. Seharusnya diletakkan di sudut sana bukan sini.
Pernikahan
Masalah pernikahan pun demikian. Adat Jawa mempunyai rule diantaranya: tidak boleh menikah anak sulung ataupun bungsu dengan anak nomor tiga, tidak boleh menjodohkan anak dengan anak yang letak rumahnya lurus ke arah barat dengan rumahnya atau ke arah “ngalor-ngulon” (Barat Laut).
Pernah ada, seorang gadis tetangga yang telah terikat hatinya dengan seorang perjaka tua kaya raya. Rumah si perjaka letaknya pada arah Barat Laut dari rumah si gadis. Karena rule yang dianut maka orang tua si perjaka tidak menyetujui hubungan mereka. Kasihan sekali.
Bulan Ramadhan
Orang Jawa mempunyai cara tersendiri dalam menyambut kedatangan bulan Ramadhan. Jika orang muslim intelektual menyambutnya dengan memasang berbagai target khattam Quran dan khattam buku-buku religi yang menggugah iman, maka orang Jawa menyambutnya dengan kondangan. Masyarakat akan disibukkan memasak nasi, apem, lentho dan sambal goreng yang akan digunakan untuk kondangan satu hari sebelum bulan puasa tiba. Makanan-makanan itu akan di susun: nasinya dibuat tumpeng seperti piring terbalik, apem goreng yang tercetak bulat atau apem godhog yang dicetak dengan daun nangka, sambal goreng yang diwadahi daun pisang, lentho kecil dan bulat, diletakkan di pinggiran tumpeng. Turut meramaikan penampilan: srundeng yang ditabur di atasnya. Semua makanan tadi ditata di atas “encek” (baca huruf e seperti pada kata “pepes” ikan). Encek terbuat dari bambu yang dianyam membentuk persegi dengan panjang sisi 30 cm. Jika kentungan sudah dibunyikan, maka encek berisi makanan dibawa ke rumah Pak RW. Tidak boleh lupa membawa uang beberapa rupiah yang dinamakan: wajib. Uang ini dikumpulkan dari yang ikut kondangan dan diserahkan untuk Pak Mudin. Mudin bukanlah nama, tapi sebutan untuk orang yang memimpin jalannya kondangan. Di dalam kondangan tersebut Pak Mudin memimpin do’a.
Begitu tradisi mereka. Dan hanya itu untuk menyambut Ramadhan. Kedatangannya mereka sambut dengan kondangan, tetapi setelah tiba mereka tidak berpuasa.
Begitulah Jawa dan wong ndesonya. Kaya budaya. Tapi kalau boleh bilang, budaya yang memperkaya budaya nasional adalah bahasa, tarian. Bukan klenik yang syarat syirik. Terlepas dari itu, aku suka dengan ndeso. Pemandangan masih terhampar luas. Bebas memandang, dan memberi ruang leluasa untuk bernafas.